Mengapa kau mencengkram lenganku, Ann? Kau kudidik jadi pengusaha dan pedagang. Tidak patut melepas perasaan dan mengikutinya. Dunia kita adalah untung dan rugi. Kau tidak setuju terhadap sikap Mama, bukan? Hmm, sedang ayam pun, terutama induknya tentu, membela anak-anaknya, terhadap elang dari langit pun. Mereka patut mendapat hukuman yang setimpal. Kau sendiri juga boleh bersikap begitu terhadap Mama. Tapi nanti, kalau sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Di sini tak ada rumah yang terkunci pintunya, siang ataupun malam. Di sini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia, tapi menahan angin. Di sini semua orang tidur di ambin pada malam atau siang hari, termasuk para tamu yang tak pernah dipedulikan dari mana datangnya. Ia mendengar sekali lagi. Di kota setiap orang baru selalu ditetak dengan tanya: Siapa nama? Dari mana? Di sini orang tak peduli Mak Pin datang dari mana. Tak peduli Mak Pin gagu. Tak peduli sekalipun dia kelahiran neraka.

Cerita, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarkan yang ditampilkannya itu hewan, raksasa, atau dewa, atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit difahami daripada sang manusia. Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana, biar pengelihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.

Bagaimanapun baik yang telah kalian peroleh dari kehidupan ini, masih ada saja yang kalian rasa kurang. Yang berada dalam kekurangan ingin terbebas dari kekurangan itu, ingin mendapatkan kemakmuran yang melimpah. Yang telah berada dalam kecukupan ingin lebih cukup lagi. Dari perasaan kurang itu, dari keinginan mendapatkan yang lebih baik itu, timbullah impian. Dan impian itu bisa menjadi padat, menjadi cita-cita. Dan cita-cita itu menjadi pola yang menjadi dasar dan petunjuk dari perbuatan.

Mengapa kau diam saja Ibu, Ibu? Lihatlah, ini aku datang menjengukmu. Apa aku bisa perbuat untukmu? Betapa sengsara hidupmu. Kau pergi meninggalkan kampung halaman dan keluarga untuk belajar, untuk bisa mengabdi lebih baik pada nusa dan bangsa dan untuk dirimu sendiri. Keberangkatanmu direstui dan didoakan selamat oleh orang tuamu. Dan kau fasis Jepang, kau telah menganiaya, memperkosanya, merusak semua harapan indahnya. Kau jatuh ke tangan orang-orang gunung ini, yang mengenalmu hanya sebagai wanita dan harta.

Sungguh, teman-teman sekolah akan mentertawakan aku sekenyangya melihat sandiwara bagaimana manusia biasa berjalan sepeuh kaki di atas telapak kaki sendiri sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat menghina martabat turunanmu sendiri begini macam? Tak pernah terpikir olehmu, nenek moyang yang keterlaluan! Keturunanmu bisa lebih mulia tanpa menghinakan kau! Sial dangkal! Mengapa kau sampai hati mewariskan adat semacam ini?

Jalan setapak memasuki hutan gempol itu sedikit berair. Anggrek bulan dengan bunga birunya yang sedang mekar menggelantung dibuai angin pagi. Juga jenis anggrek bulan lain dan anggrek merpati ramai bergelantungan pada pohon gempol. Malah serumpun anggrek harimau tenang-tenang mendekam diketinggian cabang. Bunganya yang kuning berbelang coklat serasa hendak meloncat untuk menerkam. Sayang sekali keindahan alam itu masih belum dapat dinikmati orang buangan ini. Juga tidak oleh penghuni kampung-kampung di gunung. Mereka baru bisa bicara tentang lapar.

Di daerah kami yang miskin, jarang orang berani membuat sumur. Dan di daerah kami yang kering, sumur adalah pusat perhatian manusia dalam hidupnya di samping beras dan garam. Karena itu, sekalipun pembuatan sumur itu atas ongkos sendiri, akhirnya dia menjadi hak umum. Orang yang membuat sumur adalah orang yang berwakaf di tempat kami. Dan bila orang memiliki sumur di daerah kami, dia akan mendapat penghormatan penduduk: sedikit atau banyak. Dan kalau engkau punya sumur di sini, dan sumur itu kau tutup untuk kepentingan sendiri, engkau akan dijauhi orang dan dicap kedekut.

Kau tidak mengabdi padaku man, tidak, man. Kalau kau cuma mengabdi padaku, kalau aku tewas kau tinggal hidup, kau mengabdi kepada siapa lagi? kau cari Bendoro baru, kalau dia juga tewas? Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran, dan para bupati. Satu keturunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai.

Mengapa aku ceritakan ini padamu, Ann? Karena aku tak ingin melihat anakku mengulangi pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seseorang yang kau sukai dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak boleh diperlakukan seperti hewan semacam itu. Anakku tak boleh dijual oleh siapa pun dengan harga berapa pun. Mama yang menjaga agar yang demikian takkan terjadi atas dirimu. Aku akan berkelahi untuk harga diri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tidak patut jadi ibukku. Bapakku menjual aku sebagai anak kuda, dia pun tidak patut jadi bapakku. Aku tak punya orang tua.

Demokrasi sungguh suatu sistem yang indah. Engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembahdan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh, ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau boleh berbuat sekehendak hatimu bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang apapun yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang engkau hanya boleh menonton barang yang engkau inginkan itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi.

Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang athusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah, pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

Kekuatan tanpa Nandi, berkaki empat, bersintuhan langsung dengan dengan bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi. Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan.Teman para Yang Terhormat dan Yang Suci, kita semua adalah teman. Kesetiaan para Yang Terhormat dan Yang Suci, tadi pun telah dikatakan, diantara kita ada saja yang telah meninggalkan kesetiaan, menyebrang pada kedudukan, wanita, dan harta. Sebuah dari kaki Nandi telah pincang. Sampai seberapà pincangnya para Yang Terhormat dan Yang Suci lebih tahu. Harta para Yang Terhormat.. Tumampel dan Kediri sudah lama tidak mengeluarkan dharma untuk kita. Candi-candi Syiwa terancam kerusakan. Harta para Yang Terhormat selama ada manusia disitulah harta.

Barang kali kau tidak atau belum mencintai gadis itu. Bukan aku yang menentukan. Lagi pula tak ada cinta muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan,bukan batu dari langit. Setidak-tidaknya, bukan aku yang menentukan, yang menjalani sendiri. Kau harus uji dirimu, hatimu sendiri. Boleh jadi gadis itu suka padamu. Ibunya jelas sayang padamu sejauh sudah kau ceritakan. Aku tak percaya pada guna-guna. Barang kali memang ada, tapi aku tak perlu mempercayainya, karena itu hanya bisa berlaku dalam kehidupan yang masih terlalu sederhana tingkat peradabannya. Apalagi kau sudah bilang, Nyai melakukan segala pekerjaan kantor. Orang begitu tidak akan bermain guna-guna. Dia akan lebih percaya kepada kekuatan pribadi. Hanya orang tidak berpribadi bermain sihir, bermain dukun. Nyai itu tahu apa yang diperlukannya. Barang kali dia mengenal kesunyian hidup anaknya.

Kapan selesai penghinaan atas diri nyai yang seorang ini? Haruskah setiap orang boleh menyakiti hatinya? Haruskah aku mengutuki orangtuaku yang telah mati, yang telah menjual aku jadi nyai begini? Aku tidak pernah mengutuki mereka, Ann. Apa orang tidak mengerti, orang terpelajar itu, insinyur pula, dia bukan hanya menghina diriku, juga anak-anakku? Haruskah anak-anakku jadi kranjang sampah tempat lemparan hinaan? Dan mengapa Tuan, Tuan Herman Mallema, yang bertubuh tinggi-besar, berdada bidang, berbulu dan berotot perkasa itu tak punya sesuatu kekuatan untuk membela teman-hidupnya, ibu anak-anaknya sendiri? Apa lagi arti seorang lelaki seperti itu? Kan dia bukan saja guruku, juga bapak anak-anakku, dewaku? Apa guna semua pengetahuan dan ilmunya? Apa guna dia jadi orang Eropa yang dihormati semua Primbumi? Apa guna dia jadi tuanku dan guruku sekaligus, dan dewa-dewaku, kalau membela dirinya sendiri pun tak mampu?